Refleksi Harian Katolik Epiphany. Halaman ke-274 dari 365 halaman dalam tahun.

 

“Seorang mempunyai dua anak laki-laki. Ia pergi kepada anak yang sulung dan berkata: Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur. Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi.” (Matius 21:28-29)

 

Sewaktu kecil, saya pernah diajak orang tua saya untuk ikut beberapa kursus, antara lain musik. Sebenarnya saya tidak tertarik sama sekali, karena harus duduk diam lama-lama di depan alat musik sambil memelototi not-not balok berbentuk tauge di atas buku. Jadi setiap kali diminta untuk pergi kursus, saya pasti menolak, karena saya merasa lebih tahu yg terbaik buat diri saya.

Orang tua saya berusaha berbagai cara, dari dinasihati baik-baik, sampai dimarahi, “Nanti dimasa depan, kamu menyesal loh…” katanya. Setelah sekian lama, saya malas mendengar semua nasihat-nasihat itu. Dan supaya tak dimarahi/dinasihati lagi, akhirnya setiap kali diminta latihan, saya cuma mengatakan “ya..” tapi setelah itu kabur main yang lain. Dan memang benar, puluhan tahun kemudian, giliran saya yang menyesal, coba dulu saya dengar kata orang tua.

Di Injil hari ini, si anak sulung, walau mengatakan “ya” kepada bapanya, tapi tak melakukannya, karena ia merasa dirinya tahu yang lebih baik. Tapi Tuhan Yesus menegur dengan keras sikap seperti itu. Kenapa?

 

1. Jangan sampai kita menyalahkan Tuhan, saat musibah datang karena tak mendengarkan Dia.

Sama seperti saya menyesal karena tak mendengar nasihat orang tua. Di bacaan pertama, umat Israel pun juga mengeluh. Namun Tuhan berbalik menjawab, “apakah tindakan-Ku yang tidak tepat ataukah tindakanmu yang tidak tepat?” (Yehezkiel 18:25)

 

2. Ketaatan adalah bagian dari rendah hati. Sebaliknya orang yang tak taat, berarti sombong, atau merasa dirinya lebih baik.

Orang yang di dalam dirinya merasa dirinya tak pernah salah, maka ia akan susah untuk dinasihati. Di dalam dunia bisnis pun, kerendahan hati itu penting. Kalau tinggi hati, maka tak ada yang mau bekerja sama.

 

Refleksi harian Katolik Epiphany halaman ke-274. Yesus yang adalah Tuhan, rela menjadi sama dengan manusia untuk meninggal di kayu Salib. Lebih tepatnya, bacaan kedua menulis “Kristus Yesus yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan. Namun, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia” (Filipi 2:6-9)

Kita yang adalah pengikut, juga harus belajar dari kerendahan hati Yesus. Hanya orang yang rendah hati, yang dapat dipakai Tuhan dengan maksimal untuk memuliakan namaNya.

%d bloggers like this: