Refleksi Harian Katolik Epiphany. Halaman ke-16 dari 365 halaman dalam tahun 2018.

 

Lalu kata Yesus kepada mereka: “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat.” (Markus 2:28)

 

Konon pada zaman dahulu di sebuah kuil ada banyak kucing liar yang menganggu doa para biksu. Mereka mengeong-ngeong sepanjang malam, memecahkan konsentrasi doa. Suatu ketika biksu kepala memerintahkan agar kucing-kucing ini ditangkap, diikat di pohon yang jauh sebelum mereka berdoa, dan kemudian dilepaskan kembali setelah doa mereka selesai. Hal ini dilakukan setiap hari tanpa pernah terputus. Ratusan tahun kemudian praktek ini masih terus berlangsung, setiap biksu akan bersusah payah mencari seekor kucing, mengikatnya pada sebatang pohon, baru akhirnya mereka dengan lega mulai berdoa, lalu melepaskan kucing itu setelahnya.

Dari cerita di atas kita melihat bahwa kadangkala suatu hal menjadi tradisi belaka saat alasan dilakukannya suatu ritual sudah terlupakan. Walaupun orang terlihat khusuk sekali melakukan ibadahnya, bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.

Allah memerintahkan agar kita menguduskan hari Sabat. Hal ini dimaksudkan agar manusia beribadah kepadaNya. Jadi sia-sialah kalau manusia mengikuti peraturan hari Sabat (contoh: berhenti bekerja) tetapi tidak menggunakan hari itu untuk beribadah kepada Allah, tidak menjadi pelaku kasih, justru menghakimi sesama atau menelantarkan mereka yang membutuhkan pertolongan.

Di refleksi harian Katolik Epiphany halaman ke-16 ini, marilah melanjutkan niat dan usaha kita untuk terbuka supaya pengertian kita akan kehendak Allah terus diperbaharui. Mari kita terus menomor satukan Allah dalam apapun yang kita kerjakan hari ini.